Ahlan wa Sahlan di sekolahquranthi.blogspot.com Sekretariat: Jl Tugu Karya II No.58 Sambi Doyong-Cipondoh-Kota Tangerang.Telp. (021) 55700436 email: sekolah.quranthi@gmail.com

يَا حَامِلَ الْقُرْآنْ قَدْ خَصَّكَ الرَّحْمَنْ

Wahai penghafal Al-Qur’an, sesungguhnya Allah Ar-Rahman.

بِالْفَضْلِ وَالتِّيْجَانْ وَالرُّوْحِ وَالرَّيْحَانْ

telah mengistimewakan engkau dengan karunia, mahkota, ruh, dan bunga nan sedap aromanya.

يَا دَائِمَ التَّرْتِيْلْ لِلذِّكْرِ وَالتَّنْزِيْلْ

Wahai orang yang selalu membaca Al-Qur’an dengan tartil, kabar gembira untukmu di hari kiamat.

يَا قَارِئَ الْآيَاتْ فِيْ الْجَمْعِ وَالْخَلَوَاتْ :: تَزْهُوْ بِكَ السَّمَاوَاتْ وَتَنْتَشِيْ الْلأَكْوَانْ

Wahai pembaca ayat-ayat Al-Qur’an, baik saat bersama banyak orang maupun dalam kesendirian, seluruh langit turut merekah menyertaimu dan jagad raya pun menghirup aroma sedapmu.

10/17/2013

Jangan Sebut Anak Anda "Nakal"!



Jangan Sebut Anak Anda “Nakal”


 
·        

Oleh : Cahyadi Takariawan

dakwatuna.com – “Anak saya ini nakal sekali”, kata seorang ibu.
“Kamu itu memang anak nakal”, kata seorang bapak.
Kalimat itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun apabila anak konsisten mendapatkan sebutan nakal, akan berpengaruh pada dirinya.
Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak merasa divonis.
Hindari Sebutan Nakal
Jika tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi, jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya yang lebih lanjut.
Hendaknya orang tua menyadari bahwa mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat “nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras— senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!
Mengingatkan kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun, mereka masih kecil. Sangat mungkin melaku­kan kesalahan karena ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.
Banyak kisah tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran “tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil langkah.
Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,
Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.
Cara Pandang Positif
Hendaknya orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.
Dengan cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan dengan pemberian predikat nakal.
“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.
“Bapak bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya bolos sekolah.
Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak kita. Hentikan sebutan nakal untuk mendidik anak-anak.


Sumber: 
http://www.dakwatuna.com/2012/09/24/23024/jangan-sebut-anak-anda-nakal/#ixzz2VtwvFgaW

10/16/2013

Motivation Day Sekolah Qurán THI











Hari Jumát 11 Oktober 2013 kemarin santri dan santriwati Sekolah Qurán THI mengikuti motivation day dipandu oleh ust. Fathi Mubarok dan jajaran pengajar Sekolah Qurán. Selama 90 menit para santri/santriwati Sekolah Qurán mendapatkan materi tentang Birrul Walidain dan motivasi untuk menghafal Qurán

10/15/2013

Lokasi

Sekolah Qurán Tunas Harapan Ilahi
Jl. Tugu Karya II  No.58 Sambi Doyong Cipondoh Makmur Kota Tangerang Telp. (021)55700436

10/10/2013

Assalamuálaikum Sobat SQ berikut ini kami berbagi softare Qurán digital untuk desktop yang cantik
Cara memakainya Sobat SQ cukup ekstrak file rarnya kemudian jadikan file data dan Qurán flash satu folder. Setelah itu sobat copy file Qurán flash ke desktop baru deh jalanin. Mudah kan?
Untuk download silahkan klik link ini

10/08/2013

Link Download Murattal Alqurán Juz Amma dari surat Al Muthaffifiin - Surat AsySyams bisa klik di sini

Download

Bagi Sahabat SQ yang berniat mendownload Murattal Juz Ámma dari Surat AnNaba - Surat Al Infithor Bisa mengklik disini

Mulainya dari Adab


Oleh Mohammad Fauzil Adhim



Pengantar:
Artikel berikut ini merupakan tulisan pertama dari serial tulisan berkesinambungan tentang pendidikan yang dimuat di majalah Hidayatullah, mulai edisi ini, Februari 2012. Tulisan yang saya posting di bawah ini merupakan versi orisinal. Jika ingin membaca versi yang lebih renyah, bahasanya lebih lincah, ada sedikit pemotongan tapi sama sekali tidak mengganggu dan bahkan efektif, silakan baca di majalah Hidayatullah.
Mohon do'anya agar dapat menuliskannya secara tuntas dan memadai. Tulisan berseri ini kira-kira akan saya tulis dalam 4 atau 8 edisi.
Terima kasih kepada redaksi Majalah Hidayatullah yang telah mengizinkan tulisan ini di facebook ketika bulan edisi majalahnya masih berlaku. Semoga Allah Ta'ala berikan barakah dan rahmat-Nya bagi keluarga besar majalah Hidayatullah.
"""
Tanpa pembentukan adab yang kuat, tak ada alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah berasrama (boarding school). Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama. Ini pula yang harus ditegakkan pertama kali sebagai bagian dari tarbiyah. Ibarat tanah, kita siapkan lahannya dulu sebelum kita tanami. Ibarat sawah, kita olah dulu sehingga menjadi lahan yang subur untuk menyemai berbagai bentuk kebaikan dan 'ilmu. Tanpa ta'dib dan tarbiyah, tak ada pembeda yang sangat penting dengan sekolah yang berangkat pagi pulang sore, kecuali bahwa anak-anak itu tinggal di tempat yang sama, yakni asrama. Tanpa tarbiyah dan ta'dib, sekolah asrama hanya menyediakan tempat menginap, tapi bukan pesantren. Sebagaimana, sekarang telah banyak pondok pesantren yang telah kehilangan kata pesantren, sehingga yang tersisa tinggal pemondokannya saja.
Pembentukan adab juga harus menjadi bagian sangat penting dari sekolah sehari penuh (fullday), terlebih ketika berani menempelkan kata islam pada model sekolahnya; apakah islam terpadu, islam integral, islam plus atau apa pun itu. Tanpa ada proses ta'dib yang serius dan terencana, pilihan kita memasukkan anak ke sekolah sehari penuh boleh jadi justru bukan menempa anak agar menjadi pribadi yang baik dan matang, tetapi justru menjerumuskan. Keburukan itu akan lebih besar lagi pengaruhnya pada sekolah berasrama, sebagaimana kebaikannya juga sangat besar jika tertata dengan sangat baik dan penuh kesungguhan.
Boleh jadi selama di asrama anak-anak terbiasa berperilaku sopan dan bertutur santun. Tapi tanpa proses ta'dib yang matang, kebaikan dalam berperilaku maupun bertutur hanyalah kebiasaan tanpa dasar, tanpa pilar. Mereka baik karena lingkungan kondusif untuk berbuat baik. Mereka baik karena lingkungan kurang memungkinkan berbuat buruk atau bahkan tidak memungkinkan berbuat jelek. Tapi jika hati tak mengingini, kecintaan terhadap perbuatan baik itu tidak tumbuh dengan kokoh, maka ia akan mudah hilang tanpa bekas begitu keluar dari lingkungan tersebut. Berbagai kebiasaan baik tersebut berubah drastis bukan karena pengaruh lingkungan, tetapi karena sedari awal anak-anak memang tak mengingini kebaikan tersebut, sementara upaya menanamkan kecintaan nyaris tak ada. Salah satu sebabnya, kita menganggap bahwa penjelasan telah cukup untuk menyadarkan. Padahal beda sekali antara faham dan sadar. Penjelasan itu memahamkan, bukan menyadarkan.
Lalu, kapan ta'dib perlu kita berikan kepada anak? Sepanjang masa. Selama mereka masih di asrama, selama itu pula proses ta'dib dan tarbiyah berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Tetapi untuk sebuah perubahan terencana, tiga bulan pertama merupakan masa yang amat penting untuk melakukan ta'dib. Inilah masa yang paling strategis. Kita dapat melakukan perubahan kapan saja, tetapi saat paling tepat untuk melakukan perubahan mendasar adalah masa awal masuk asrama atau sekolah. Inilah masa penting membentuk sikap, menanamkan nilai, membangun orientasi belajar dan orientasi hidup. Inilah masa paling berharga untuk membangun adab yang baik dan kuat dalam diri anak.
Jadi, awal di asrama sepatutnya kita manfaatkan secara serius untuk membangun hal-hal mendasar yang diperlukan oleh siswa, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mengarungi hidup yang amat panjang. Orientasi kampus bisa saja kita lakukan. Tapi itu bukan yang terpenting. Jika kita mendirikan sekolah untuk sebuah tujuan ideologis yang sangat idealis, jangan segan meninjau ulang apa-apa yang tampak telah lumrah dilakukan berbagai lembaga.
Apa yang perlu kita perhatikan dalam proses ta'dib? Pembiasaan dan bahkan pemaksaan atau pengharusan berperilaku sesuai tuntunan (mulazamah), pendampingan sehingga apa yang berat terasa lebih ringan, penyampaian ilmu sehingga anak tak sekedar terbiasa melakukan, dan yang tak kalah pentingnya adalah targhiib wat tarhib. Jika penjelasan memahamkan anak apa-apa yang sebelumnya tidak ia pahami, maka targhiib wat tarhib kita berikan untuk menumbuhkan kesadaran. Dua hal ini, paham dan sadar, merupakan perkara penting yang berbeda ranahnya. Paham itu berada pada ranah kognitif, sementara sadar merupakan jenjang terendah ranah afektif.
Mengapa dua hal ini harus kita berikan secara berbarengan (simultan)? Sekedar paham, sematang apa pun pemahamannya hingga mampu menjelaskan secara gamblang dan memuaskan, tidak berpengaruh pada sikap maupun perilaku. Bukankah orang-orang Yahudi banyak yang memahami Islam dengan baik, tetapi mereka tidak bersedia tunduk kepada petunjuk? Sementara kesadaran tanpa mengilmui membuahkan keinginan untuk berbuat, tetapi tanpa terasa bisa terlepas dari tuntunan. Bukankah telah berlalu orang-orang sebelum kita yang gigih beramal tapi terlepas dari kebaikan karena jauh dari petunjuk? Maka, keduanya harus ada: pemahaman dan kesadaran. Keduanya ditumbuhkan berbarengan dengan proses pembiasaan, pendampingan dan pengasuhan.
Jika ranah afektif telah tersentuh, kesadaran telah tumbuh, maka hadirnya pemahaman akan menguatkan keyakinan, Semakin kuat ia memegangi nilai, menginternalisasikan dalam dirinya, lalu perlahan ia mengikatkan diri pada nilai tersebut (organizing) dan pada akhirnya semoga sampai pada jenjang karakterisasi diri. Dus, karakterisasi diri merupakan proses panjang. Ia bermula dari kesadaran, memunculkan keinginan berbuat sesuai apa yang ada dalam kesadarannya, menghayati nilai-nilai itu, mengikatkan diri pada nilai atau sistem nilai tersebut dan pada akhirnya mencapai karakterisasi diri.
Sungguh, kebohongan besar dan dusta keji jika ada yang menawarkan kiat praktis membentuk karakter hanya dalam waktu dua hari!
Merebut Masa Awal Sekolah
Kembali pada pembahasan tentang ta'dib. Tiga bulan pertama merupakan masa paling penting bagi pembentukan 'adab yang berperan sangat penting bagi proses pembentukan iklim kelas dan budaya sekolah di kemudian hari. Selama tiga bulan, kegiatan akademik diminimalkan, terutama di asrama. Fokus kegiatan ada pada ta'dib dan tarbiyah. Bukan ta'lim.
Saya pernah mengusulkan program semacam ini kepada sebuah sekolah dasar, tetapi belum pernah benar-benar menyampaikan secara detil apa saja yang harus dilakukan pada tiga bulan pertama. Baru kulit-kulitnya saja bersebab ada gejala program tersebut terlalu tergesa-gesa dipasarkan sebagai proyek pelatihan oleh sebagian orang sebelum konsepnya benar-benar dipahami dengan matang. Ini tentu saja kontraproduktif bagi sebuah proses ta'dib. Sebuah pelatihan haruslah diilmui secara matang. Jauh lebih baik lagi jika ia dikuati pengalaman lapangan yang sangat kaya, termasuk bagaimana mengatasi masalah yang terjadi selama proses implementasi berlangsung. Jika gagasan selintas sudah menjadi program pelatihan, hampir pasti yang terjadi hanya pencitraan atau permainan saja. Dan hari ini, betapa banyak pelatihan yang sebagian besar isinya adalah ice breaking berupa hiburan. Padahal konsep awal ice breaking adalah upaya memecah kebekuan hanya jika peserta sudah jenuh dan lelah.
Apakah sekolah harus mengambil waktu sedemikian lama hanya untuk membentuk adab? Ada dua jawaban sederhana. Pertama, ibarat menanam padi, pembentukan adab merupakan proses penyiapan lahan agar tanaman yang kita semai dapat tumbuh subur. Keberhasilan pembelajaran dan pembentukan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya 'adab pada pribadi tiap siswa. Pembicaraan ini terasa lebih mendesak mengingat banyak anak masuk sekolah berasrama tanpa bekal adab dan mental yang memadai dari rumah. Kita bisa melaksanakan proses pembiasaan dalam waktu lebih singkat. Tetapi sulit berharap bisa terpatri lebih dalam, terbangun lebih kokoh. Kedua, kerepotan mengurusi siswa akibat lalai menyiapkan adab mereka di awal jauh lebih panjang dan melelahkan, sehingga mengkhususkan waktu di awal (khususnya di asrama) akan sangat bermanfaat. Selain itu, jika mereka telah memiliki adab yang kuat serta menghayati fadhilah ilmu maupun menuntut ilmu, kita bisa berharap mereka akan memiliki sikap belajar serta orientasi studi yang baik.
Wallahu a'lam bish-shawab.

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

 

 
Remaja. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”
Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis ‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QSnAn Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.
Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya.
Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.”
Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?
Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”
Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar.
Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.
Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu.
Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.
Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati.
Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata.. Aamiin..
sepenuh cinta